Mungkin aku tidak pernah tahu warna biru bisa sebanyak itu seandainya kamu tidak membagi senja yang cantik kemarin sore. Kamu menghitung warna yang muncul disela-sela arak awan, sinar matahari, pucuk-pucuk pohon yang aku tak pernah tahu namanya, burung-burung yang sesekali melintas dan angin yang malas. Bumi pun enggan untuk cepat-cepat membalikkan badan, mengirim senja kali itu ke dalam gelap. Apa bumi juga ikut menikmati senja bersamamu? Aku cuma melihatnya tersenyum sekali dua padaku, pada matahari dan mungkin juga pada bulan yang belum tampak.

Tujuhpuluh tujuh, pas, tidak kurang tidak lebih, katamu yang mungkin sedang memakai kacamata biru atau melihat senja dibalik jendela biru. Kamu buat daftar warna biru yang mengiringi senja yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Biru? Aku mengharap warna darah pada tiap senja, bukan biru. Yang benar saja, biru tidak akan cocok dengan senja. Senja itu lelah, habis, istirahat, mati, darah dan akhir. Seno gumira saja yang mungkin keterlaluan dalam menggambarkan senja yang membuat banyak orang terkena senjamania atau senjaholic.

Akupun tersenyum, menghentikan langkahku, di pinggir sawah disekitar jalan a m sangaji, menghadap ke barat. Sebentar, kataku pada diriku sendiri. Melihat jam digital pada layar ponsel untuk memastikan bahwa senja ini datang tepat pada waktunya. Mengucek-ucek mata.

Lho?

Duh, kamu benar, ada biru di senja kali ini. Banyak. Mungkin tujuhpuluh tujuh. Tepat seperti pada daftar komposisi warnamu yang panjang. Bagus. Tidak sedikitpun biru itu mengganggu warna kemerahan pada langit senja seharusnya. Aku cuma bisa melongo terkagum-kagum layaknya anak kecil yang belum pernah melihat senja. Sial, seno gumira juga benar. Senja bisa menjadi sangat cantik, tak salah kalau dia menularkan wabah gila senja. Apa dia jadi pintar menulis gara-gara melihat senja yang sama beratus waktu yang lalu?

Belum pernah ada senja secantik ini sebelumnya.

“Duapuluh dua lagi akan menyempurnakan komposisi biru pada senja kali ini fir” Katamu lagi. Seperti nama-nama Tuhan yang menjadi sempurna pada hitungan ke sembilanpuluh sembilan. Kamu mengharapkan kesempurnaan akan datang pada biru yang terbentuk hingga malam. Kurang satu mungkin tidak sempurna tidak juga pada satu yang lebih. Harus tepat. Kamu suka biru ya?

“Aku punya duapuluh warna lembayung yang kusimpan dalam kotak biru dari senja yang belum sempat aku bagikan padamu” Kataku padamu dengan harap bisa meringankan pekerjaanmu mengumpulkan warna biru (pekerjaan itu berat lho, istirahat sebentar kalau capek)

Tapi sayang bukan biru, cuma lembayung yang sunyi. Lembayung yang aku dapat dari senja yang tentunya kalah apik dari senja kemarin sore, ketika air dari gerimis yang mulai berkemas bercampur dengan air wudhu.

Lembayung itu, mungkin cuma kesepianku memaknai senja dan punggung matahari.