Mencuri Senyummu
Wajahmu berseri-seri, senyum yang selalu menempel, kaus merah jambu, rambut yang masih basah mengerudungi kepalamu, membuatmu kelihatan begitu segar di pagi sebelum kamu meninggalkan kota yang ramah ini. Kamu manis, sungguh. Dan aku mencintaimu.
Aku hanya memiliki limabelas menit sebelum sosokmu hilang menuju kerumunan di balik pintu dengan tulisan departure di atasnya. Aku tahu limabelasjuta menitpun masih kurang bagiku untuk membagi semuanya denganmu. Aku juga tahu kata-kata tak pernah cukup untuk melukiskan semuanya. Aku bahkan tahu aku tidak pernah bisa menghentikan waktu. Tapi aku malah diam. Kamu juga. Aku suka berflip-flop denganmu. Dan kita mungkin sedang berflip-flop saat kita diam.
“Sukses buat kamu ya fir.” Katamu sesaat setelah kamu memutuskan untuk masuk kedalam.
“Kamu juga.” Jawabku.
“Take care!” Dan kita berflip-flop lagi. Aku senang dan aku tak bisa menutupinya.
“Ok, let’s make a wish.” Ajakmu.
“Ya, dan kita akan melakukan flip-flop lagi ketika membuat harapan.” Aku tertawa. Kamu tersenyum. Lalu aku benar-benar membuat harapan.
Sejenak aku hanya bisa melihatmu setengah berlari seolah pilot pesawat penerbangan pertama hari itu sudah menyalakan mesinnya. Aku hampir berteriak pada punggungmu sesaat ketika kamu memutuskan untuk membalikkan wajahmu ke arahku.
“I’ll miss you.” Kataku setengah berteriak.
“Miss you too.” Kamu tersenyum.
Bagaimana aku bisa mencuri senyummu jika kamu memberikannya padaku sebelum aku sempat mencurinya?
~ Adi Sucipto, Yogyakarta. 26 Mei 2006, setengah delapan pagi