Aku berhenti di depan Parsley, salah satu toko roti di sekitaran jalan Kaliurang. Aku suka roti bawangnya, garlich bread, selain buatan Pizza Hut. Hap, aku mengambil satu roti bawang dan satu roti moccachino untuk bekal perjalanan di kereta.

Masih tigapuluh delapan ribu rupiah; harga tiket kereta ekonomi menuju kotamu, mmm bukan, bukan kotamu, tapi kota dimana kamu berada, sahabatku. Dan calo-calo tiket Lempuyangan masih saja menyesatkan para calon penumpang yang takut kehabisan tiket maupun tempat duduk.

Berinteraksi, membagi cerita dan senyum, singgah sebentar di ingatan tiap-tiap manusia yang kita temui atau hanya berbasa-basi; di kereta api kelas ekonomi yang terkadang kejam tapi tidak jarang sangat ramah. Dalam hitungan menit sebelum jam pemberangkatan aku sudah berakrab-akrab dengan dua orang pemuda dan seorang nenek perokok yang sangat merindukan cucu pertamanya.

Cerita dan tawa. Mungkin saja karena Yogya begitu ramah, sahabatku. Hampir semua yang berasal dari kota ini bisa membagi senyumnya, seperti aku dan kamu juga tentunya. Dari cerita tentang mahasiswa baru yang tidak direstui orangtuanya kuliah di kehutanan sampai pengalaman kecurian di kereta. Ah, aku jadi ingat tentang stasiun Tanah Abang sebulan yang lalu, waktu itu aku juga hanya ingin bertemu denganmu saja sama seperti saat ini, ditempel empat orang bertubuh gempal yang selalu mendorong-dorong tubuh kurusku dan sebuah tangan yang aktif menggerayangi saku celanaku. Aku hampir kecopetan. Hampir. KRL berangkat dan mereka tidak berhasil mengambil ponsel bututku. Wajar. Aku saja susah mengambil apapun itu dari saku celanaku. Sempit. Aku tidak suka stasiun Tanah Abang.

Pasar Senen jam tiga pagi bersama seorang teman yang masih tersisa. Kamu pasti belum bangun dan bus nomor duapuluh juga masih sepi. Aku menunggu semburat fajar muncul sembari duduk di kursi stasiun. Stasiun yang tidak pernah tidur, orang-orang yang bergegas, waktu yang selalu mengejar. Lalu aku tertidur berbantalkan backpack.

Jika saja kamu tahu, sahabatku

Aku mengetuk pintu kamarmu. Sekali. Dua kali. Lalu pintu kamarmu terbuka. Senyumanmu yang manis di pagiku yang lelah, dengan dua jerawat yang mampir di pipimu. Aku senang sekali bertemu denganmu; jika kamu ingin tahu bagaimana perasaanku ketika melihatmu pagi itu, sahabatku. Pelukan dan kecupan itu adalah ungkapan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Aku masih mencintaimu. Aku memelukmu. Aku mengecupmu.

“Mau berburu senja?” Ajakmu sore itu.
“Dimana?”
“Monas.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku suka berada di dekatmu, kamu tahu itu. Hari itu kamu bisa membawaku kemanapun kamu pergi, sahabatku.

Rencananya…

Rencanamu hari itu adalah menyelesaikan bahan untuk presentasi. Rencanaku adalah menemanimu dan mengganggumu sesekali, mungkin aku tertidur sebentar karena kelelahan. Aku merayumu untuk bubur ayam yang sering kamu ceritakan padaku. Itu juga masuk dalam rencanaku.

Lalu kamu meninggalkan presentasimu dan menggandeng tanganku menelusuri area publik menuju monas. Aku menyukaimu. Selalu saja ada yang kamu bicarakan ketika aku bersamamu; mungkin sore itu tentang teman-teman kantormu, tentang gedung Joop Ave, tentang tulisan di atas pos polisi atau tentang kuda.

Angin kencang. Kita hampir terbang. Aku memegang tanganmu lebih erat. Masih jam setengah enam saat kita sampai di kaki monas dan matahari belum pulang. Masih panas, lalu kita memunggunginya dan mendapati pesawat akrobatik membelah angkasa. Senja datang. Kamu senang, aku juga. Nikmati saja senja itu sahabatku. Mungkin cuma aku dan kamu saja yang datang ke tempat ini untuk melihat semburat jingga yang perlahan menjadi siluet dan malam. Mungkin hanya kita penikmat senja sore itu. Senja itu milikmu. Kamu suka warna-warnanya kan? Yang kadang tidak hanya jingga atau merah, tapi mungkin juga dari warna-warna yang tidak punya padanan katanya dalam bahasa manusia; barangkali seperti perasaanku padamu. Ya, senja itu milikmu.

“Hey, kelihatannya segar di sebelah sana,” kataku.

Kamu mengiyakanku ketika melihat air mancur dan sebuah area publik dengan banyak bangku tepat di depan tempat kita menunggu senja. Kamu membeli minum. Angin masih saja kencang. Sejenak kita duduk melihat anak-anak kecil berfoto menggunakan teknik cahaya di pinggir kolam. Kocak dan kamu tersenyum. Beberapa saat setelahnya kamu mulai gelisah. Mencari-cari minyak kayu putih. Tidak ada.

“Masuk angin?” Tanyaku dan kamu mengangguk.

Kamu mengajakku keluar dari area monas. Aku memegang tanganmu, sesekali mendekapmu agar kamu merasa lebih hangat. Dan kamu mencuri sebuah kecupan dariku. Aku tersenyum. Angin mulai jahat, kamu tidak windproof, dan aku menyayangimu sahabatku, kita pulang saja yuk.

Jakarta, minggu-minggu lalu