Hari beranjak sore. Jalanan sempit yang berkelak-kelok dan penuh lubang itu mulai sepi. Sudah hampir dua setengah jam sejak kita memutuskan untuk melakukan perjalanan ini tapi sejauh pandangan mata vegetasi tumbuhan belum juga berubah. Sempat berpikir mungkin saja waktu kita tidak tepat setelah berulangkali berpapasan dengan kendaraan dari arah yang berlawanan. Dan kamu cuma tersenyum.

Langit dengan kemahaluasannya tampak serupa raksasa diam ketika kamu melaju di tengah hamparan hijau sawah dan rimbun ilalang yang selalu saja menjadi sesuatu yang menyejukkan hati.

Kamu masih berceloteh tentang ini dan itu. Sesekali melongo kagum melihat alam atau bergaya berkonsentrasi penuh pada tanjakan dan tikungan yang sedikit sulit. Lalu kamu tersenyum lagi. Ah, jika hidup seumpama perjalanan yang maha panjang, niscaya perhentian-perhentian sejenak sebelum akhir akan menjadi saat-saat membagi senyum dan melepas lelah dan bukan untuk berkeluh-kesah, mungkin itu yang ingin disampaikan senyummu padaku.

Kamupun berteriak kegirangan ketika melihat loket tiket masuk khas obyek wisata beberapa puluh meter di depan. Lebih tampak seperti gerbang hutan lindung daripada sebuah pantai bagiku saat melihat rimbunnya pepohonan dan pekatnya hijau dedaunan yang menutupi sinar matahari. Aku lalu membuka kaca jendela; menunggu angin selatan yang membawa bau laut.

Tak berapa lama mulai terdengar suara deburan ombak yang membentur bebatuan karang di kejauhan. Senyummu makin mengembang. Lengkung pelangi yang masih saja membawa rasa nyaman, sahabatku. Dan aku jelas merindukannya. Lalu terlihat pulau kecil dengan sebuah pura, di tepian laut yang tenang, di atas jutaan karang menyerupai benteng yang melindungi hamparan pasir putih kecoklatan dari ganas ombak samudra. Jari-jari kaki mulai dicumbui kasarnya bulir-bulir pasir dan pecahan kerang pantai Balekambang yang terserak layaknya gugusan bintang saat bulan meredup. Lalu air laut mulai membasahi jiwa yang kering oleh hiruk-pikuk rutinitas.

Selalu saja ada semacam kerinduan kepada alam. Sesuatu yang memanggil untuk kembali pada alam. Kembali melihatnya. Kembali berkenalan dengannya. Kembali berdamai dengannya. Ia tidak sekedar beranda ataupun etalase. Alam adalah puisi tersembunyi dalam tulisan rahasia yang menakjubkan, kata Ernst Cassirer. Ia mengajak manusia untuk memahaminya. Ia merangkul manusia untuk meninggalkan prasangka dan mulai pengembaraan batin, memulai sebuah pencarian. Ah, jangan-jangan aku saja yang jatuh cinta terlalu dalam pada laut dan pantaiā€¦

Lalu senja datang. Semburatnya mulai muncul dari kakilangit. Sekali lagi kamu melompat-lompat gembira saat lembayungnya membaur dengan langit biru muda dan awan cirrus dan altocumulus. Senja kemerah-merahan itu terasa hangat ketika terpantul di air laut yang tak berombak.

Senja datang. Saatnya kita pulang. Satu lagi perjalanan senja bersamamu, sahabatku, dan aku tak sabar menunggu untuk perjalanan berikutnya. Yah, aku pikir kita belum melewatkannya, kita belum melewatkan hal-hal menakjubkan itu.