Monalisa di Pantai

Dari atas bukit, Femme melihat seorang pria sedang asyik mencorat-coret pasir di pantai. Di matanya perlahan coretan-coretan itu menjelma lukisan. Adalah wajah yang sangat cantik, tidak begitu nyata tergambar, tapi bisa dilihat dari banyak sudut sekaligus. Femme sangat terkejut ketika dia mendapati lukisan di pasir itu seperti karya Da Vinci; ia seperti Monalisa.

Beberapa saat kemudian setelah pikirannya mulai jernih, jantungnya berhenti berdetak. Femme melepas teropongnya dan menggosok-gosok matanya; memastikan dia tidak berkhayal. Lukisan itu memang benar Monalisa.

Femme berlari. Dia menyusuri jalan ini setiap hari, dia tahu sebentar lagi laut pasang dan ombaknya akan menghapus Monalisa itu. Bagaimanapun juga ia harus menyelamatkannya, harus! Tapi bagaimana?

Menahan gelombang pasang adalah mustahil. Mengambil semua pasir berlukis wajah Monalisa malah akan merusaknya lebih cepat. Ide mengambil kamera di rumahnya yang tak begitu jauh dari pantai sempat melintas di kepalanya. Tapi itu cuma cara terbaik merekam sebuah karya, bukan mempertahankan lukisan itu sendiri. Dan jika ia melakukannya mungkin lukisan itu sudah terhapus oleh ombak samudra saat ia kembali.

Mungkin ia cukup menikmatinya saja. Menikmati pemandangan menakjubkan itu, selama mungkin, sebelum ia terhapus oleh air laut. Ketika Femme memandanginya, ia tak tahu harus tersenyum atau menangis.

In a Season of Calm Weather dari A Medicine for Melancholy (1959) – Ray Bradbury

Pun sebuah karya seni, tak jarang yang tak abadi. Sebuah pekerjaan seni yang terkoyak oleh waktu adalah fakta yang tragis. Absurd jika kita menganggap pertunjukan semacam teater, sendra tari atau sebuah orkestra harus bisa seabadi patung atau arca. Film bisa merekamnya atau kita bisa mempertahankan naskahnya dan tetap saja hanya orang-orang yang menghadiri konsernya bisa menjelaskan perasaan meluap-luap; semacam ekstasi seni dibanding yang hanya menonton filmnya.

Bisa jadi hasrat kita untuk mengabadikan sesuatu yang indah adalah penyangkalan pada kefanaan kita. Bahwa karya seni berumur lebih panjang dari manusia membuat beberapa manusia menjadikannya sebuah bentuk keabadian yang mewakili dirinya.

Jika kita menganggap karya seni itu fana, dan tidak ada yang abadi; mungkin kita bisa melihat dengan jelas di mana nilai sebuah karya seni dan tentu saja kehidupan bisa ditemukan; in experiencing them

Happy belated birthday to me.

comments powered by Disqus