Dikutuk untuk Hidup
Tragedi kehidupan manusia adalah kefanaan kita; yang berarti satu-satunya hal yang pasti menunggu kita di akhir kehidupan adalah kematian. Saya suka dengan film besutan Robert Zemeckis yang dibintangi Bruce Willis, Meryl Streep dan Goldie Hawn; Death Becomes Her. Film yang menuturkan bahwa keabadian adalah sebuah kutukan. Kita memerlukan kematian untuk memberi wujud dan arti sebuah kehidupan. Tanpa itu, kita akan menemui kehidupan yang tak berarti, pointless. Dalam sudut pandang ini, jika neraka adalah laknat abadi, maka bagi Hades hidup yang kekal sudah cukup sebagai tempat penghukuman.
Tidak mengejutkan mengetahui banyak orang yang menginginkan keabadian. Dapat dimengerti. Pada dasarnya yang kita inginkan adalah lebih banyak waktu untuk hidup. Dan 60 tahun, jika kita beruntung, tampaknya belum cukup lama. Ada banyak tempat yang harus dilihat, banyak yang harus dilakukan dan pengalaman-pengalaman yang belum kita rasakan, ah. Jika saja kita punya waktu lebih banyak untuk melakukan itu.
Sebanyak apapun jatah hidup kita, tampaknya tak akan pernah cukup. Tapi ironisnya kita lebih sering membuang-buang waktu, kita tak jarang tidak terlalu lapar untuk menggunakan waktu yang kita punya dengan sebaik-baiknya. Lain lagi jika waktu kita tak terbatas, dengan jatah waktu infinitif, tentu “membuang-buang waktu” menjadi tak bermakna; dan eksistensi menjadi sesuatu yang membosankan.
Bisa jadi kita adalah penipu ulung untuk diri kita sendiri, ketika mengatakan masalahnya ada pada singkatnya hidup. Karena kita tak bisa mengubah panjangnya jatah hidup, semua tragedi yang berasal dari hidup yang pendek ini bukan salah kita. Susah untuk mengakui bahwa kita bertanggung jawab pada bagaimana kita menggunakan waktu yang sudah dialokasikan untuk kita, sesingkat apapun.
Mungkin kita seharusnya berhenti berpikir, “jika saya punya lebih banyak waktu” dan lebih memikirkan “jika saja saya menggunakan waktu yang saya punya dengan lebih baik”.
Selamat jalan untuk semua yang telah meninggalkan gedung kehidupan.