Merayakan Hidup
Pada perjalanan dari Bir-Hakeim menuju Champ de Mars malam itu, kenangan tentang salah satu puisi Derek Walcott tiba-tiba mampir. Ia seolah menempel pada hal-hal yang kutemui di ujung langkah, bersamamu sahabatku. Seperti pada wangi kertas novel lusuh di atas kapal Feri Padang Bai, gerbong kereta malam kelas bisnis menuju Solo, sobekan klippekort dari Københavns Lufthavn, atau di pengapnya tempat parkir B1 di sebuah gedung dekat Pancoran. Pada setiap biasa. Pada setiap perayaan hidup. Ah, Tuan Walcott, aku tak sedang merebut makna darimu. Ia mampir begitu saja. Ia lebih menjelma kenangan ketimbang ingatan.
Aku menemukan puisi itu saat membaca novel Time Traveler’s Wife karya Audrey Niffenegger hampir sepuluh tahun yang lalu. Aku sudah lupa dengan rincian kisah di novelnya. Tapi tidak dengan puisinya. Kali ini ia melekat pada perjalanan dari Bir-Hakeim menuju Champ de Mars malam itu. Pada langkah kakimu yang mulai berlari-lari kecil, sesekali menghindari genangan air sehabis hujan, menuju kedai Crêpe. Pada setiap hal-hal yang tak penting. Pada setiap saat yang menjadi perayaan hidup. Puisi itu, Love After Love, lebih menjelma kenangan ketimbang ingatan.
Pada perjalanan dari Bir-Hakeim menuju Champ de Mars malam itu. Di bawah gemerlap La Dame de Fer. Pada beberapa kalimat remehmu yang tak bisa kudengar. “Menara cahaya.” Mungkin itu yang kamu katakan dari mulutmu yang penuh dengan remah Crêpe Nutella. Aku yakin tawaku tersembunyi dengan rapat dalam gigil musim dingin La Ville-Lumière dan tebalnya balutan syal. Pada senyummu; rumahku, aku merayakan hidup denganmu.
Sahabatku, tidakkah kita menyadari di setiap perjalanan kita, kita tak pernah jauh dari rumah?